Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syair: Penangguhan Akhir Menanti

Syair adalah puisi lama memiliki karakteristik tersendiri, di pengaruhi kebudayaan Arab dan termasuk puisi lama dari persia yang masuk ke Sastra Indonesia, tepat pada masuknya ajaran Islam. Ciri-cirinya ialah empat baris dalam tiap-tiap jumlah suku kata berjumlah 8-14. Bersajak a, a, a, a dan semua baris adalah isi, juga bahasa dapat berupa kiasan. 

Syair tentu memiliki pesan berupa nasihat, petuah, pujian atau cerita. Dibuat dalam kalimat yang tiap-tiap barisnya terdiri dari 4-6 kata. Dari setiap bait memiliki arti satu kesatuan yang mudah dimengerti. Menulis syair memang gampang-gampang susah. Perlu renungan dan rasa, merangkai kata menjadi kalimat yang searah. 

Menulis Syair tetap merujuk pada objek utama pada judul dimana setiap bait-bait beralur sampai kalimat terkahir. Makna dan pesan dalam syair akan mudah di mengerti sejak awal kalimat sampai akhir menyesuaikan pada judul. Syair dapat dipelajari, memulainya dengan oretan kertas untuk menghimpun kalimat menjadi satu kesatuan. 
Namun jika khusyuk menulis syair dapat langsung diterbitkan diberbagai platform media sosial. Merangkai dengan kata kiasan, atau menggunakan kalimat yang jelas. Akan tetapi dapat pula mencampurkan kiasan dengan kalimat efektif. Di sesuaikan pada jumlah bait-bait syair yang akan di tuliskan. 

Berikut ini, syair berjudul: Penangguhan Akhir Menanti. Dapat dijadikan bahan bacaan dan renungan. Mohon maaf atas kekurangan syair tersebut, diharapakan mendapatkan pesan yang terkandung didalam bait-bait tersebut. 

Syair: Penangguhan Akhir Menanti

Mengusap dada hembuskan perlahan

Buaian asa melangkah di keadaan

Pengingat akan makna perjalanan

Mengharap berkah dibalik lembaran-lembaran 
 
 
Riwayat tergambar dalam peristiwa

Lengan dan bahu kuatkan raga

Semua tercampur pilah dengan rasa 

Merajut terus berserah kepada-Nya
 

Merasakan nikmat bentuk karena bersyukur 

Harapan terucap bukan karena mahir

Begitu dekat terasa bahkan mata berair

Tetap melangkah sebagaimana takdir


Berkat untaian kalimat dalam mantra

Bernaung di kedua tangan terbuka

Memijak hamparan bumi di permukaanya

Lahir dan batin menyelimuti jiwa 


Tersenyum dibalik derasnya hujan

Tertawa dibalik gelapnya awan

Tak dapat diukir dan terlukiskan

Adalah keinginan untuk hasil sejalan


Hanya panca bidikan bingkai cahaya

Walaupun tak secerah saat di mata

Gambaran 
penglihatan seketika berwarna 

Terjebak mendarah daging di lingkungannya


Namun tidak hanya demikian

Biarkan alam semesta mengumpulkan

Segala atas kehendak bukan di biarkan

Kejadian perlahan mengubah haluan


Mata semesta mulai memuncak

Tahu arah sampai tujuan kelak

Ibarat busur panah perlahan bergerak

Menuju sasaran yang kian merangkak


Lihat hari berganti hari terlewati

Semua nampak perlahan memulai

Di datangkan raga seolah berlari

Hanya sesal merintih tiada berarti


Semua kembali secara bergantian

Lain yang kembali lain pula yang berjalan 

Anggapan sudah aman dan terasa nyaman

Kasian hati, tertinggal jadi tanggungan 


Panca tak akan mengelak saat diserahkan

Fisik kaku semua terkunci utusan

Semua sekejap belum pernah di saksikan

Tiada ringan jeritan sunyi sendirian


Percuma sia-sia nalar dan panca indra

Waktu didatangkan merintih tak berdaya

Karena dua tangan menutup telinga

Hembusan terakhir perlahan menantinya 


Penangguhan akhir diambang permulaan

Penyesalan menghantui tak berkesudahan 

Karena tuntunan menjadi gurauan

Keranda menjemput liang pun menantikan


Isak tangis mengantarkan ramai bersua

Bermacam niat hanya untuk menyaksikannya

Gemuruh bumi bergejolak luar biasa

Pijak keramaian menunggu peristiwa.